Fenomena lemahnya kurs rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat (AS) belakangan menarik untuk diikuti. Dalam
perdagangan internasional, kurs mata uang dapat dimaknai sebagai
perbandingan nilai antar mata uang. Setiap negara pasti menginginkan
nilai mata uangnya stabil terhadap mata uang negara lain, tak
terkecuali Indonesia. Namun, untuk mencapai hal tersebut tidak
semudah membalikkan telapak tangan karena kuat atau lemahnya nilai
tukar mata uang tidak hanya ditentukan oleh kondisi dan kebijakan
ekonomi di dalam negeri, tetapi juga kondisi perekonomian negara lain
yang menjadi mitra dagangnya serta kondisi non-ekonomi seperti
keamanan dan kondisi politik.
Nilai kurs dipengaruhi oleh penawaran dan
permintaan (EconEdLink). Oleh karena itu, muncullah istilah apresiasi
dan depresiasi. Apresiasi adalah menguatnya nilai mata uang suatu
negara terhadap mata uang negara lain yang ditentukan oleh mekanisme
pasar, sedangkan depresiasi adalah melemahnya nilai mata uang suatu
negara terhadap negara lain yang ditentukan oleh mekanisme pasar.
Saat ini, terjadi fenomena kurs rupiah terhadap
dolar AS yang sudah sepatutnya kita kaji penyebabnya.
Terdepresiasinya nilai rupiah terhadap dolar AS memang bukan hal yang
baru dalam sejarah kurs rupiah. Namun, yang membuat fenomenal adalah
nilai tukar rupiah terhadap dolar sudah mencapai 13 ribuan. Untuk
memperbaiki kondisi tersebut, pemerintah telah bekerjasama dengan
Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap asing
yang dampaknya akan dapat terlihat langsung maupun tidak.
Selain nilai rupiah yang dianggap sudah tidak wajar, kurun waktu
melemahnya pun patut diperhatikan.
Penyebab
Adapun penyebab melemahnya nilai rupiah
terhadap dolar AS secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu
faktor eksternal maupun internal perekonomian. Faktor eksternal yang
paling umum diketahui adalah perekonomian AS yang setahun belakangan
semakin membaik. Sejumlah indikator memang telah menunjukan hal
tersebut. Pertumbuhan ekonomi AS terakhir mencapai 2,5% atau lebih
tinggi daripada ekspektasi 2%. Sementara inflasi hanya 1,6%. Bahkan,
pada Januari 2015 terjadi deflasi (inflasi negatif), yakni -0,1%.
Inflasi di AS dikatakan baik jika tidak lebih dari 2%. Meski
sebelumnya AS melakukan kebijakan quantitative
easing(mencetak uang untuk
dibelikan surat berharga pemerintah AS sendiri), tetapi inflasi AS
tidak meningkat karena dolar AS beredar ke seluruh dunia, tidak cuma
di AS. Akibatnya, efek inflasinya tidak begitu besar, bahkan hampir
tidak ada.
Tingkat pengangguran AS juga menurun dengan
tajam hingga level sekarang 5,7%. Memang belum berada pada level
‘normal’ 4%. Namun, kondisi sekarang jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan saat krisis subprime
mortgage yang memuncak pada
2009-2010. Data penjualan mobil, salah satu indikator untuk
mendeteksi tingkat kesehatan perekonomian AS, juga memberi konfrimasi
yang sama. Penjualan mobil di AS pada Februari 2015, lebih tinggi
hingga 9% jika dibandingkan dengan Februari 2014. Di sepanjang 2014,
penjualan mobil mencapai 16,5 juta unit. Hal tersebut tidak hanya
berpengaruh terhadap nilai rupiah saja, tetapi juga terhadap mata
uang negara lain sehingga kurs beberapa mata uang negara lain pun
ikut terdepresiasi dalam beberapa bulan terakhir.
Akibat
Dampak dari melemahnya rupiah terhadap dolar AS
juga mulai dirasakan. Mulai dari menaiknya gaji dalam bentuk dolar AS
menjadi meningkat, ada jugadampak yang langsung terasa saat kurs
rupiah melemah adalah kenaikan harga barang-barang impor. Sebagian
besar perdagangan luar negeri Indonesia dijalankan dengan perantaraan
dolar AS, sehingga mahalnya dolar AS akan membuat harga barang impor
juga makin mahal, semakin memberatkannya hutang negara dan swasta.
Selain dampak negatif yang banyak dirasakan karena pelemahan rupiah
ini saja juga dampak positifnya dirasakan oleh sektor industri
pariwisata karena sebagian besar wisatawan jadi lebih memilih
pariwisata domestik.
Secara keseluruhan, dampak melemahnya nilai
rupiah terhadap dolar AS ini lebih banyak negatifnya dibandingkan
positifnya. Dalam teorinya, depresiasi menjadikan harga produk
relatif lebih murah bagi negara lain. Sebagai ilustrasi, 1 dolar AS
setara dengan Rp10.000,00 dan 10 butir kelereng berharga Rp10.000,00.
Kemudian, rupiah terdepresiasi oleh dolar AS sehingga 1 dolar AS sama
dengan Rp11.000,000. Dengan demikian, jika pedagang kelereng di AS
mengimpor kelereng, dengan mengeluarkan satu dolar pedagang tersebut
dapat memperoleh lebih banyak kelereng. Berdasarkan ilustrasi di atas
dapat disimpulkan bahwa dengan terdepresiasinya nilai rupiah terdapat
peluang harga produk ekspor Indonesia menjadi lebih kompetitif
sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari sektor ekspor. Namun
kenyataannya, dampak tersebut belum terlalu berpengaruh bagi
Indonesia. Nilai ekspor Indonesia sejak terdepresiasinya nilai rupiah
terhadap dolar AS belum mengalami peningkatan secara signifikan,
bahkan sempat mengalami penurunan pada November 2014 dan Januari
2015.
Simpulan dan Saran
Melemahnya milai tukar rupiah terhadap mata AS
ini di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal.
Timbulnya faktor eksternal tersebut dipengaruhi karena semakin
kuatnya perekonomian AS sendiri sehingga menimbulkan semakin kuatnya
nilai mata uang dolar yang berimbas juga pada perekonomian
internasional dan nilai mata uang di Dunia. Dalam hal ini pemerintah
seharusnya memberikan kebijakan yang dapat menstabilkan mata uang
rupiah lagi. Dengan menaikan suku bunga acuan juga dinilai jurus
paling ampuh untuk mengatasi pelemahan rupiah oleh BI. Amerika juga
akan menaikkan FFR seiring dengan semakin membaiknya perekonomian
Amerika sehingga menyebabkan banyaknya peralihan asset investasi ke
Amerika yang lebih dianggap menguntungkan. Selain dari sisi moneter,
pemerintah juga dapat melakukan intervenssi dalam bidang fiskal
dengan mengurangi defisit anggaran.
Pada dasarnya pelemahan rupiah kali ini
cenderung memiliki banyak dampak negatifnya. Meskipun secara teori
depresiasi kurs mata uang dapat meningkatkan pendapatan negara di
sektor Ekspor, kenyataannya tidak demikian karena harga barang
komoditas sedang mengalami penurunan permintaan.
Meskipun faktor dari luar lebih dominan dalam
melemahnya kurs rupiah terhadap dolar ini, pemerintah juga harus
segera mencari solusi bagaimana mengatasi defisit pada pendapatan
primer Indonesia. Besarnya jumlah investor asing sebesar 64% dan 50%
dalam menguasai pasar saham dan reksadana di Indonesia harus segera
diminimalkan. Pemerintah juga dapat melakukan capital
control secara ketat.Capital
control dapat diartikan
sebagai usaha pemerintah dalam mengendalikan aliran modal, baik yang
masuk, maupun keluar.Hal ini perlu dilakukan karena saat ini aliran
keluar masuk modal sangat bebas dan lebih banyak digunakan oleh
investor asing untuk memanfaatkan keuntungan dari berinvestasi di
Indonesia. Namun, seperti apapun kebijakan yang dibuat, harus
didukung dengan kapasitas lembaga yang mumpuni.
Sumber
EconEdLink. Exchange
Rates and Exchange: How Money Affects Trade.
Diakses dari:
http://www.econedlink.org/lessons/index.php?lid=342&type=student/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar