Detik telah berganti
menjadi menit lalu jam dan menjadi hari lalu keminggu selanjutnya
menjadi bulan. Aku masih di sini menanti sebuah jawaban. Jika bukan
karena cinta tak mungkin aku dapat bertahan, menunggu sesuatu yang tak
pasti. Hanya harapan dari sebuah janji yang keluar dari bibir yang manis
sekali. Bagai mantra sihir yang mampu membuatku terpaku dan selalu
berharap akan kehadirannya. Atas nama cinta dan kesetiaan begitu klasik
memang, tapi itulah kebodohanku. Sebuah kebodohan yang menurutku lebih
baik dari pada aku harus berkhianat. Angga adalah sosok seorang yang
dapat aku banggakan, walaupun bukan orang berada namun ia
mempunyai
semangat dan selalu optimis dengan hidup, tak ada yang disesali dalam
hidupnya. Mungkin itu bentuk syukurnya, sikapnya yang selalu berpikir
poitif yang membuatku menjadi simpatik. Hanya kekuatan hati dan
keyakinan yang aku miliki, aku selalu berharap bahwa dia akan kembali
dengan sebuah harapan yang sangat aku nantikan tentunya. Entah sampai
kapan namun aku yakin suatu hari. Resahku, hampir setiap malam menemani
tidurku, menemani sepiku yang berakhir dan berubah menjadi isak tangis
yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku menangis. Terkadang terbesit
untuk hengkang dari janji itu namun bisikan hati melarangku. Entah
keterpaksan atau tidak, yang pasti aku merasa ini ketulusan. Walau bulan
menjadi tahun dan kabar tentangnya tak jua sampai padaku namun aku tak
pernah berprasangka buruk tentangnya. “Kamu itu tolol” kata Vina padaku.
Dia lah sahabat karibku yang selalu menasehati dan
memperhatikanku.“Memang, tapi aku tidak mau dibilang penghianat oleh
Angga” Jawabku lemah.“Memang kamu tahu, kalau di sana Angga setia? Hah?!
Sit!” Lanjut Vina dengan wajah bersungut.“Aku gak tahu, namun aku tak
berani untuk menuduhnya dengan pikiran-pikiran seperti itu yang akan
mempengaruhi kepercayaanku” Jawabku dengan mata berkaca.“Win, Win….”
Vina menggelengkan kepala. Ia merasa capek menasehati aku agar dapat
melupakan Angga dan ia mengharapkan agar aku mencoba untuk bisa
mencintai orang lain Memang beralasan nasehat Vina, karena selama 3
tahun Angga tak pernah memberikan kabar. Setidaknya tempat dimana dia
sekarang ini berada. Surat yang ia tinggalkan ketika akan pergi hanya
berisi “berjanjilah sayang untuk setia dan sabar menantiku, suatu hari
aku akan datang menemui kamu lalu kita akan hidup bersama” Tiga tahun
bukan waktu yang sebentar, harapan itu tak juga datang. Sedikit demi
sedikit terkikis juga dalam hatiku. Kuliahku sebulan lagi selesai dan
orang tuaku pasti akan menanyakan tentang masa depanku dan pendampinku.
Meskipun orang tuaku tidak pernah memaksakan atau menjodohkan aku, namun
diusiaku yang tidak lagi muda menjadi sesuatu beban juga dalam
pikiranku. Apalagi kekolotan dalam keluarga besarku yang selalu
membicarakan saudaranya sendiri jika ada cela dalam salah satu
keluarganya. Perawan tua merupakan aib besar dalam keluargaku. Orang
tuaku merasa takut dan malu jika anaknya selalu menjadi gunjingan ketika
ada acara besar keluarga. Bisik-bisik yang menyakitkan. Aku pasti akan
dibilang sok cantik pilih-pilih pula dalam mencari jodoh. Perawan tua
lah, dan entah apa lagi cemoohannya. Batinku semakin berat, hanya pada
Tuhan aku berharap semoga aku tabah menjalani ini semua. Karena rasa ini
Dia-lah yang menciptakan. Suatu hari pasti akan aku temui harapanku,
hanya itu yang menjadi motivasiku. Ketakutanku akhirnya terjadi juga.
Setelah lulus kuliah, aku langsung diterima kerja disebuah perusahaan
swasta, namun penantianku tak juga mendapat kepastian. Aku mulai dicerca
oleh gunjingan. Orang tuaku semakin merasa tertekan, rasa malu mulai
merambat benak mereka. Berkali-kali bapak bertanya tentang kehidupanku
kedepan. Aku hanya menjawab belum waktunya, karena yang aku tunggu belum
juga datang. Dan aku meyakinkan pada
mereka
bahwa pasti aku akan menikah, tapi tidak secepatnya. Tak tahan dengan
gunjingan saudara-saudara penyakit jantung bapak kambuh, dan harus
dirawat intensif di rumah sakit. Disela sakitnya bapak memintaku agar
jangan pilih-pilih tebu dalam memilih suami, nanti malah keburukan yang
akan didapat. Kata-kata bapak membuat dadaku sesak. Aku tidak
pilih-pilih dalam hal itu, aku hanya ingin menepati janji untuk menunggu
orang yang sudah kupilih untuk menjadi pendapingku.“Angga?, kenapa kamu
tak pernah mau mengerti tentang resah ini” Ratapku. Sebagai anak
satu-satunya, perempuan pula, apa yang harus aku lakukan?, selama aku
hidup rasanya belum pernah membahagiakan orang tuaku. Pikiranku saat ini
adalah apakah aku siap jika menikah dengan orang selain Angga? Itu yang
menjadi bebanku. Aku takut jika kelak ia kembali dan mendapatkan aku
sudah menikah dengan orang lain. Tak dapat kubayangkan hancurnya
perasaannya. Aku benar-benar tidak tega jika perjuangannya selama ini
hancur seketika hanya gara-gara aku menghianatinya. Namun harus
bagaimana aku ini?. Dengan sangat terpaksa aku berbohong, aku bilang
pada bapak akan dilamar 3 bulan lagi. Mendengar tuturku wajah bapak
berseri seminggu kemudian bapak sembuh. Aku bahagia, namun juga panik
dan sedih. Dalam tiga bulan?, akankah Angga datang. Sedang hingga saat
ini tak juga aku dapatkan alamatnya. Dalam waktu yang kurasa singkat
apakah aku bisa mencintai orang lain selain Angga.“Ya. Allah, aku pasrah
padaMu” masalah ini betul-betul sangat menekan perasaanku. Tubuhku
semakin kurus kurasakan. Setiap malam kegelisahan merayap berlahan,
membuahkan sebuah tangis lirih yang sangat mengiris hati. Mataku tidak
akan terpejam sebelum shalat subuh aku kerjakan. Aku benar-benar tidak
dapat lagi berfikir dengan tenang. Bayangan Angga, Bapak dan
saudara-saudara, melintas bergantian. “Angga, jika bukan karna janji aku
tak akan seperti ini, jika bukan karena cinta aku tidak akan setia
menunggumu walau tanpa kepastian darimu” desahku sambil berlinang air
mata. Aku tatap wajah Angga yang tersenyum manis di balik bingkai kaca
di atas meja sudut samping tempat tidurku.****Senja ini gerimis, aku
pulang dari tempat kerjaku 1 jam lebih awal. Karena mendadak kepalaku
pusing dan pandanganku berkunang-kunang. Aku harus menuruni tangga
keluar dari kantorku. Di atas anak tangga aku berhenti. Tiba-tiba aku
merasa disekitarku gelap. Tangan kokoh memegang lenganku dan memapahku
turun berlahan, lalu didudukan aku di kursi ruang lobi.“Ambilkan air
putih” samar suara laki-laki ku dengar. Segera seorang OB membawa
segelas air putih, tak menunggu lama air putih yang telah dipegang
laki-laki itu telah menempel dibibirku. “Minum win, biar tenang dan
jantungmu stabil”Ucapnya. Antara sadar dan tidak aku meneguk sedikit
demi sedikit air putih yang disodorkan dibibirku. Rasa dingin segar
mengalir kekrongkongan lalu nafasku lega dan detak jantungku tak lagi
berdebar. Berlahan ku buka mataku.“Pak Hendra!” Pekikku kaget.“Ada apa
dengan saya pak?” Aku masih merasa heran.“Kamu hampir jatuh dari tangga
Win, dan kebetulan saat itu saya tepat ada dibelakangmu” Terang pak
Hendra.“Terima kasih pak, maaf sekali. saya memang selalu merepotkan”
Ucapku kaku. “Sudah, jangan seperti itu. Ini kebetulan saja. Badanmu
masih lemah. Kebetulan saya akan keluar menemui clien sekalian saya
antar kamu pulang, ayo..mobil sudah menunggu di depan” Tawar pak Hendra
ramah. “Terima kasih banyak pak, tapi biarlah saya naik bus saja, saya
sudah biasa seperti ini” Tolakku tulus.Aku merasa malu, Pak Hendra
adalah bosku. “Sudahlah, menolak berarti kamu tidak menghargai saya”
Ucapnya benar-benar membuat aku tak bisa menolak lagi. Aku hanya
mengangguk dan berjalan berlahan menuju mobil sedan hitam mengkilat
mewah. Di dalam mobil mewah ini, tubuhku seakan mengigil, entah karena
dinginnya AC atau karena kegrogianku. Aku gemetar, namun gemetarku tak
sampai terlihat oleh pak Hendra karena beliau duduk didepanku. Pak
Hendra yang masih muda menjadi bosku. Umurnya sekitar 31 tahuan, selisih
3 tahun denganku. Sungguh laki-laki yang sempurna, wajahnya tampan,
cerdas, baik hati, ramah dan dia adalah sosok pemimpin yang bijaksana.
Mungkin perusahaan ini maju pesat, karena dipimpin oleh orang yang
tepat. Orang yang cerdas dan mampu membuat semua karyawannya mempunyai
jiwa loyalitas yang tinggi. Pendekatan yang sangat jarang dimiliki oleh
para bos diluaran sana. Pak Hendra, seorang pengusaha muda yang sukses.
Namun, tetap saja tak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia. Entah
kenapa sampai saat ini Pak Hendra belum juga menikah. Padahal tidak ada
lagi yang menjadi pertimbangan untuknya mencari wanita. Sampai saat ini,
gosippun tak terdengar kalau dia mempunyai seorang kekasih. Bersama
wanitapun tidak pernah ada yang melihat. Kebiasaan buruk memang, dan
tidak enak jika anak buah tidak membicarakan bosnya, entah itu
membicarakan tentang kebaikannya atau keburukannya dan ini sudah menjadi
kebiasaan bagi semua anak buah dimanapun. Yang menjadi topik
pembicaraan tempatku bekerja hanyalah tentang kesendirian Pak Hendra.
Terkadang terdengar dari salah satu karyawan mengatakan pak Hendra itu
Gay, ada juga yang mengatakan Pak Hendra itu trauma, dan banyak lagi
pendapat-pendapat tentang kesendirian Pak Hendra dan selalu menjadi
topik hangat setiap hari. Pak Hendra tidak risih, itu yang menjadi
keseganan kami. Ia hanya tersenyum saat ada yang kepergok sedang
membicarakannya. Aku sendiri berprediksi kalau pak Hendra itu trauma
dengan wanita. Mungkin karena dia pernah dikhianati atau pernah disakiti
oleh wanita. Tapi wanita tolol mana yang sampai menyiakan cinta pak
Hendra. Memang tidak ada habisnya untuk membicarakan orang lain, sampai
masalah dalam diri sendiri lupa. Sepanjang perjalanan aku bungkam dan
pak Hendra hanya berbicara dengan klien lewat Hpnya. Setengah jam mobil
mewah ini berjalan gerimis tak juga reda, suasana kelabu semakin terasa
dingin namun menyegarkan.“Di depan gang itu saja pak saya turun” Ucapku
memecah keheningan.“Tapi rumahmu masuk kan?” Tanya pak Hendra“Ia pak”
jawabku singkat“Ya sudah sekalian saja sampai depan rumahmu” Ucap pak
Hendra tegas.“Tapi pak, nanti bapak terlambat menemui klien.”“Tidak jauh
kan?, ini masih grimis nanti tambah sakit kamu win”Aku benar-benar
tidak bisa berkata-kata lagi. Tepat didepan rumah mobil berhenti. Susana
rumahku lengang. Ini sudah biasa, aku keluar dari dalam mobil mewah pak
Hendra mengantarku sampai depan pintu rumah. Perasaan malu sangat aku
rasakan entah kenapa. Pintu terbuka sebelum aku sempat memencet bel,
kepala ibu menyebul dari balik pintu. Terlihat dari wajahnya ada
keterkejutan melihat aku dan Pak Hendra dan senyumnya menggambarkan
harapan dan kebahagiaan. Ibu menatapku, lalu memegang wajahku.“Kamu
pucat sekali, kamu sakit sayang?” Ucap ibu lembut namun penuh dengan
kekhwatiran.“Iya bu, Windi tadi pingsan dikantor, dan kebetulan saya
memang akan keluar untuk menemui klien jadi sekalian antar Windi” sambar
Pak Hendra.“Aduh terima kasih mas” Ucap ibu tulus. Pak Hendra
mengulurkan tangan.“Saya Hendra bu, teman kerjanya Windi” Ucap Pak
Hendra setengah berbohong.“O, ya mari masuk dulu” Tawar ibu bukan
basa-basi.“Terima kasih bu, saya buru-buru” Tolak Pak Hendra disertai
senyum khasnya, senyuman yang menawan setiap orang yang melihatnya.“Maaf
ya nak Hendra sudah merepotkan” Ucap ibu tulus“O, tidak apa-apa bu,
saya pamit assalamualaikum” Pak Hendra berlalu setengah berlari menuju
mobilnya karena gerimis semakin deras mengguyur.“Walaikumsalam” Jawab
ibu dan aku bersamaan. Aku dipapah ibu ke kamar, punggung tangan ibu
menempel dikeningku.“Badanmu panas win” Ucapnya Panik“Win sudah minum
obat kok bu, hanya kelelahan saja, istirahat dulu ya bu, Win capek”
Ucapku lemah.Ibu hanya mengangguk sambil menyelimuti tubuhku lalu
mengecuk keningku. ****Pagi yang cerah, tubuhku sudah sehat terasa. Aku
buka jendela kamar dan sinar matahari pagi menerobos masuk menghangatkan
ruang kamarku. Masih dipinggir jendela aku tersenyum melihat sisa embun
di ujung daun jeruk nipis kemilau tersinar matahari bagai mutiara
murni. Ibu sengaja menanam pohon-pohon di samping rumah karena ibu
mencintai kehijauan. Lagi pula sejuk rasanya kalau ada pohon-pohon
didekat rumah, rumah jadi sehat dan asri. Sisa gerimis semalam ternyata
menyegarkan suasana pagi. Belum puas aku menikmati segarnya pagi suara
bel berbunyi. Terpaksa aku keluar kamar namun ibu sudah lebih dulu
sampai di ruang tamu. Aku lihat ibu menyibakan tirai jendela sebelum
mebukakan pintu.“E..nak Hendra, mari masuk” Ucap ibu. Aku terkejut bukan
kepalang. Pagi-pagi begini Pak Hendra kerumahku. Aku belum sempat cuci
muka, apalagi mandi. Aku benar-benar panik segera aku ambil handuk yang
menggantung di balik pintu kamarku, setengah berlari aku masuk kamar
mandi. Ibu sudah sudah asik ngobrol pagi-pagi dengan Pak Hendra.“Win
Sudah sehat bu?” Tanya Pak Hendra.“Sudah, sebentar saya panggilkan”
Jawab ibu sambil berlalu menuju kamarku. Aku keluar dari kamar mandi,
ibu langsung mendekati aku.“Win, Hendra datang. Siapa dia?” pertanyaan
Ibu mengejutkan aku.“Pak Hendra adalah bosku bu” jawabku.“Bos mu?, “ ibu
mengerutkan kening“Iya, kalau nggak percaya liahat nanti apa yang kami
bicarakan” Aku keluar kamar dan menemui Pak Hendra“Pak Hendra. Maaf saya
baru mandi. “ Sapaku. Pak Hendra menatapku dengan tatapan yang tidak
biasa menurutku. Tajam namun teduh. Ada setitik kecemasan dan keceriaan
di sana.“O, sudah sehat Win?”“Alhamdulilah pak. Ini ada apa pagi-pagi
sekali?” tanyaku heran.“Saya hanya ingin jenguk kamu, kalau kamu sudah
sehat ya sekalian kita bareng ke kantor” Ucapnya lagi-lagi membuat aku
tak bisa menolaknya. Ibu yang mendengar pembicaraanku mengangguk percaya
dengan penjelasanku, sambil membawa segelas teh hangat ia menyuruhku
agar cepat berkemas. “Diminum nak Hendra” “Terima kasih, wah jadi
merepotkan ini” katanya disertai senyumIbu ikut tersenyum.“Tidak, tidak
merepotkan justru kami yang merepotkan. Sampai seorang bos menjemput
anak buahnya” Tawa pun pecah.“Ah Windi pasti cerita siapa saya ya
bu?”“Iya, habis ibu penasaran. Karena Windi tidak biasanya pulang dengan
seorang laki-laki.” Ucap ibu serius“Oya. Windi tidak pernah di antar
atau di jemput pacarnya atau teman laki-laki?” Tanya Hendra
penasaran.“Pacar?, Windi kok punya pacar gadis rumahan seperti Windi
tidak akan punya pacar, sebab tidak ada yang tahu kalau rumah ini punya
anak gadis. Berangkat kerja pagi pulang sore dan hari minggu ndekem aja
dikamar. Gimana mau ada laki-laki yang tahu” Jawab ibu panjang. Pak
Hendra hanya manggut-manggut. Aku keluar sudah dengan pakaian kerjaku.
Baju blazer hitam, kaca mata dan tas menyangkut dipundakku. Setelah
berpamitan aku dan Pak Hendra menuju mobil mewah yang sudah parkir di
depan rumah.Walau segan aku coba bersikap biasa saja ketika ada di dalam
mobil mewah pak Hendra. Sejak saat itu hari-hariku menjadi hari-hari
yang aneh. Sebab Pak Hendra setiap pagi menjemputku dan pulang selalu
bersamaku. Aku menjadi gosip palih hot di kantor.“Wah ketiban duren nih”
Ledek Indri teman kerjaku.“Iya sakit banget” Balas canda ku. Dua bulan
setengah. Waktu singkat menurutku. Pak Hendra beranikan diri untuk
melamarku. Entah rasa apa yang aku rasakan yang pasti panik, sedih,
senang bahagia bangga bercampur aduk jadi satu. Kemarin aku sendiri yang
bilang perempuan mana yang tolol menolak pak Hendra yang begitu kaya,
baik tampak dan cerdas. Sekarang masalahku bertambah. Yang kuharapkan
tak juga datang, hadir Pak Hendra yang dapat membuat kedua orang tuaku
merasa bangga dan bahagia. Walaupun kesempurnaan terdapat pada diri pak
Hendra namun hati ku tak tergoda sedikitpun. Hatiku masih saja
menyebut-nyebut nama Angga. Aku benar-benar tak dapat melupakannya. Ini
cinta bagiku, karena statusnya tak dapat digantikan oleh siapapun dan
apapun. Rasa yang aku miliki pada Angga tak ku miliki pada diri Pak
Hendra. Kenapa?. Hal ini yang aku takutkan, aku takut ada keterpaksaan
pada hatiku, meskipun sudah sekuat tenaga aku paksakan untuk dapat
menerima Pak Hendra dengan harapan aku bisa jatuh cinta karena
kesempurnaannya. Tapi tetap tidak bisa. Angga satu-satunya yang aku
cintai. Namun, hingga saat ini tak juga ada kabar tentangnya.
Pertimbanganku sudah pas. Karena aku minta pada pak Hendra tunggu tepat
tiga bulan.“Pak Maaf, saya minta agar pas tiga bulan baru saya akan beri
tahu jawabannya” Kataku pak hendrapun setuju. Kini waktunya telah tiba
dan jawaban harus aku berikan pada pak Hendra. Bayangan orang tuaku yang
bangga dan bahagia membuatku ingin menerima lamaran Pak Hendra,
bayangan saudara-saudaraku yang mengejekku dan mentertawakan aku
memotivasi aku untuk menerima Pak Hendra dan bayangan Angga yang
tersenyum? Aduh,. Membuat perih dadaku.“Maaf kan aku sayang?, tidak bisa
memegang janjiku. Bayak alasan yang aku berikan untukmu, kenapa aku
ingkari janji ini” desahku. Aku terima lamaran Pak Hendra. Seminggu lagi
aku menikah. Dapat dibayangkan bagaimana resepsi pernikahan orang-orang
kaya. Semua ternyata sudah dipersiapkan Pak Hendra jauh sebelum dia
melamarku. Aku benar-benar tidak menyakan, selama ini Pak Hendra
benar-benar memperhatikan aku. Akad nikah dimulai, aku pejamkan mataku.
Bayangan Angga datang , aku buka mataku bersama air mata menitik di
sudut mataku. Aku benar-benar merasa hina karena semua cinta dan
kesetiaanku aku lepas begitu saja. Aku seorang penghianat. Akad nikah
selesai, aku dan Pak Hendrapun duduk di pelaminan para tamu undangan
menyantap menu yang disediakan, aluan musik klasik menambah
keromantisan. Batinku tidak di sini tapi entah dimana, aku resah dan
rasa bersalah meyelimuti hatiku. Sebelum bertemu Angga aku tidak akan
lepas dari semua dosa ini. Hanya kata maaf yang aku butuhkan dari Angga.
Tapi kapan, dimana?. Aku benar-benar tersiksa. Pestapun hampir usai
mobil sedan mewah berhenti. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil.
Aku tercengang melihatnya. “Angga…” tak sadar aku berdiri tak peduli Pak
Hendra melihatku heran.Angga melangkah, dengan tegang tak ada senyum
dibibirnya. Ia langsung kepelaminan menjabat tangan Pak Hendra“Selamat”
katanyaLalu kepadaku dan meyelipkan lipatan kertas“Penghianat” ucapnya
lirih. Aku benar-benar merasa malu, sakit dan kesal. Kenapa ia baru
datang ketika aku sudah ada di pelaminan. Kenapa.? Kenapa?..” jerit
batinku.Angga melangkah meninggalkan kami dan menuju mobil mewah. Lalu
melesat pergi. Surat Angga aku baca di kamar mandi.“aku tak menyangka,
hari ketika aku kembali kau sudah ada yang punya. Aku merasa bersalah
kenapa tak ada kabar buatmu. Itu pasti alasan mu kenapa kamu menikah.
Aku mengerti, tapi kamu tidak akan pernah mengerti kenapa aku tak
berikan kabar buatmu. Aku sudah berjanji. Semua yang aku lakukan demi
kamu, buat kamu dan karena kamu. Keberhasilanku karena kamu, terima
kasih. Tapi semua ini untuk apa? Orang yang aku cintai dan yang berhak
menerima ini semua telah pergi. Maafkan aku Windi. Aku doakan semoga
kamu dapat bahagia dengannya.” Aku terisak, sedih dan entah apa lagi
yang aku rasakan. Semua ini sudah aku bayangkan. Namun kenyataannya
lebih sakit. Sangat meyakitkan. Orang yang aku dambakan, kembali dan
terlambat haya beberapa jam. Seandainya dia datang sebelum akad nikah
dimulai aku akan korbankan maluku untuknya. Tapi ini kehendakNya. Aku
yakin.
Detik
telah berganti menjadi menit lalu jam dan menjadi hari lalu keminggu
selanjutnya menjadi bulan. Aku masih di sini menanti sebuah jawaban.
Jika bukan karena cinta tak mungkin aku dapat bertahan, menunggu sesuatu
yang tak pasti. Hanya harapan dari sebuah janji yang keluar dari bibir
yang manis sekali. Bagai mantra sihir yang mampu membuatku terpaku dan
selalu berharap akan kehadirannya. Atas nama cinta dan kesetiaan begitu
klasik memang, tapi itulah kebodohanku. Sebuah kebodohan yang menurutku
lebih baik dari pada aku harus berkhianat. Angga adalah sosok seorang
yang dapat aku banggakan, walaupun bukan orang berada namun ia
mempunyai
semangat dan selalu optimis dengan hidup, tak ada yang disesali dalam
hidupnya. Mungkin itu bentuk syukurnya, sikapnya yang selalu berpikir
poitif yang membuatku menjadi simpatik. Hanya kekuatan hati dan
keyakinan yang aku miliki, aku selalu berharap bahwa dia akan kembali
dengan sebuah harapan yang sangat aku nantikan tentunya. Entah sampai
kapan namun aku yakin suatu hari. Resahku, hampir setiap malam menemani
tidurku, menemani sepiku yang berakhir dan berubah menjadi isak tangis
yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku menangis. Terkadang terbesit
untuk hengkang dari janji itu namun bisikan hati melarangku. Entah
keterpaksan atau tidak, yang pasti aku merasa ini ketulusan. Walau bulan
menjadi tahun dan kabar tentangnya tak jua sampai padaku namun aku tak
pernah berprasangka buruk tentangnya. “Kamu itu tolol” kata Vina padaku.
Dia lah sahabat karibku yang selalu menasehati dan
memperhatikanku.“Memang, tapi aku tidak mau dibilang penghianat oleh
Angga” Jawabku lemah.“Memang kamu tahu, kalau di sana Angga setia? Hah?!
Sit!” Lanjut Vina dengan wajah bersungut.“Aku gak tahu, namun aku tak
berani untuk menuduhnya dengan pikiran-pikiran seperti itu yang akan
mempengaruhi kepercayaanku” Jawabku dengan mata berkaca.“Win, Win….”
Vina menggelengkan kepala. Ia merasa capek menasehati aku agar dapat
melupakan Angga dan ia mengharapkan agar aku mencoba untuk bisa
mencintai orang lain Memang beralasan nasehat Vina, karena selama 3
tahun Angga tak pernah memberikan kabar. Setidaknya tempat dimana dia
sekarang ini berada. Surat yang ia tinggalkan ketika akan pergi hanya
berisi “berjanjilah sayang untuk setia dan sabar menantiku, suatu hari
aku akan datang menemui kamu lalu kita akan hidup bersama” Tiga tahun
bukan waktu yang sebentar, harapan itu tak juga datang. Sedikit demi
sedikit terkikis juga dalam hatiku. Kuliahku sebulan lagi selesai dan
orang tuaku pasti akan menanyakan tentang masa depanku dan pendampinku.
Meskipun orang tuaku tidak pernah memaksakan atau menjodohkan aku, namun
diusiaku yang tidak lagi muda menjadi sesuatu beban juga dalam
pikiranku. Apalagi kekolotan dalam keluarga besarku yang selalu
membicarakan saudaranya sendiri jika ada cela dalam salah satu
keluarganya. Perawan tua merupakan aib besar dalam keluargaku. Orang
tuaku merasa takut dan malu jika anaknya selalu menjadi gunjingan ketika
ada acara besar keluarga. Bisik-bisik yang menyakitkan. Aku pasti akan
dibilang sok cantik pilih-pilih pula dalam mencari jodoh. Perawan tua
lah, dan entah apa lagi cemoohannya. Batinku semakin berat, hanya pada
Tuhan aku berharap semoga aku tabah menjalani ini semua. Karena rasa ini
Dia-lah yang menciptakan. Suatu hari pasti akan aku temui harapanku,
hanya itu yang menjadi motivasiku. Ketakutanku akhirnya terjadi juga.
Setelah lulus kuliah, aku langsung diterima kerja disebuah perusahaan
swasta, namun penantianku tak juga mendapat kepastian. Aku mulai dicerca
oleh gunjingan. Orang tuaku semakin merasa tertekan, rasa malu mulai
merambat benak mereka. Berkali-kali bapak bertanya tentang kehidupanku
kedepan. Aku hanya menjawab belum waktunya, karena yang aku tunggu belum
juga datang. Dan aku meyakinkan pada
mereka
bahwa pasti aku akan menikah, tapi tidak secepatnya. Tak tahan dengan
gunjingan saudara-saudara penyakit jantung bapak kambuh, dan harus
dirawat intensif di rumah sakit. Disela sakitnya bapak memintaku agar
jangan pilih-pilih tebu dalam memilih suami, nanti malah keburukan yang
akan didapat. Kata-kata bapak membuat dadaku sesak. Aku tidak
pilih-pilih dalam hal itu, aku hanya ingin menepati janji untuk menunggu
orang yang sudah kupilih untuk menjadi pendapingku.“Angga?, kenapa kamu
tak pernah mau mengerti tentang resah ini” Ratapku. Sebagai anak
satu-satunya, perempuan pula, apa yang harus aku lakukan?, selama aku
hidup rasanya belum pernah membahagiakan orang tuaku. Pikiranku saat ini
adalah apakah aku siap jika menikah dengan orang selain Angga? Itu yang
menjadi bebanku. Aku takut jika kelak ia kembali dan mendapatkan aku
sudah menikah dengan orang lain. Tak dapat kubayangkan hancurnya
perasaannya. Aku benar-benar tidak tega jika perjuangannya selama ini
hancur seketika hanya gara-gara aku menghianatinya. Namun harus
bagaimana aku ini?. Dengan sangat terpaksa aku berbohong, aku bilang
pada bapak akan dilamar 3 bulan lagi. Mendengar tuturku wajah bapak
berseri seminggu kemudian bapak sembuh. Aku bahagia, namun juga panik
dan sedih. Dalam tiga bulan?, akankah Angga datang. Sedang hingga saat
ini tak juga aku dapatkan alamatnya. Dalam waktu yang kurasa singkat
apakah aku bisa mencintai orang lain selain Angga.“Ya. Allah, aku pasrah
padaMu” masalah ini betul-betul sangat menekan perasaanku. Tubuhku
semakin kurus kurasakan. Setiap malam kegelisahan merayap berlahan,
membuahkan sebuah tangis lirih yang sangat mengiris hati. Mataku tidak
akan terpejam sebelum shalat subuh aku kerjakan. Aku benar-benar tidak
dapat lagi berfikir dengan tenang. Bayangan Angga, Bapak dan
saudara-saudara, melintas bergantian. “Angga, jika bukan karna janji aku
tak akan seperti ini, jika bukan karena cinta aku tidak akan setia
menunggumu walau tanpa kepastian darimu” desahku sambil berlinang air
mata. Aku tatap wajah Angga yang tersenyum manis di balik bingkai kaca
di atas meja sudut samping tempat tidurku.****Senja ini gerimis, aku
pulang dari tempat kerjaku 1 jam lebih awal. Karena mendadak kepalaku
pusing dan pandanganku berkunang-kunang. Aku harus menuruni tangga
keluar dari kantorku. Di atas anak tangga aku berhenti. Tiba-tiba aku
merasa disekitarku gelap. Tangan kokoh memegang lenganku dan memapahku
turun berlahan, lalu didudukan aku di kursi ruang lobi.“Ambilkan air
putih” samar suara laki-laki ku dengar. Segera seorang OB membawa
segelas air putih, tak menunggu lama air putih yang telah dipegang
laki-laki itu telah menempel dibibirku. “Minum win, biar tenang dan
jantungmu stabil”Ucapnya. Antara sadar dan tidak aku meneguk sedikit
demi sedikit air putih yang disodorkan dibibirku. Rasa dingin segar
mengalir kekrongkongan lalu nafasku lega dan detak jantungku tak lagi
berdebar. Berlahan ku buka mataku.“Pak Hendra!” Pekikku kaget.“Ada apa
dengan saya pak?” Aku masih merasa heran.“Kamu hampir jatuh dari tangga
Win, dan kebetulan saat itu saya tepat ada dibelakangmu” Terang pak
Hendra.“Terima kasih pak, maaf sekali. saya memang selalu merepotkan”
Ucapku kaku. “Sudah, jangan seperti itu. Ini kebetulan saja. Badanmu
masih lemah. Kebetulan saya akan keluar menemui clien sekalian saya
antar kamu pulang, ayo..mobil sudah menunggu di depan” Tawar pak Hendra
ramah. “Terima kasih banyak pak, tapi biarlah saya naik bus saja, saya
sudah biasa seperti ini” Tolakku tulus.Aku merasa malu, Pak Hendra
adalah bosku. “Sudahlah, menolak berarti kamu tidak menghargai saya”
Ucapnya benar-benar membuat aku tak bisa menolak lagi. Aku hanya
mengangguk dan berjalan berlahan menuju mobil sedan hitam mengkilat
mewah. Di dalam mobil mewah ini, tubuhku seakan mengigil, entah karena
dinginnya AC atau karena kegrogianku. Aku gemetar, namun gemetarku tak
sampai terlihat oleh pak Hendra karena beliau duduk didepanku. Pak
Hendra yang masih muda menjadi bosku. Umurnya sekitar 31 tahuan, selisih
3 tahun denganku. Sungguh laki-laki yang sempurna, wajahnya tampan,
cerdas, baik hati, ramah dan dia adalah sosok pemimpin yang bijaksana.
Mungkin perusahaan ini maju pesat, karena dipimpin oleh orang yang
tepat. Orang yang cerdas dan mampu membuat semua karyawannya mempunyai
jiwa loyalitas yang tinggi. Pendekatan yang sangat jarang dimiliki oleh
para bos diluaran sana. Pak Hendra, seorang pengusaha muda yang sukses.
Namun, tetap saja tak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia. Entah
kenapa sampai saat ini Pak Hendra belum juga menikah. Padahal tidak ada
lagi yang menjadi pertimbangan untuknya mencari wanita. Sampai saat ini,
gosippun tak terdengar kalau dia mempunyai seorang kekasih. Bersama
wanitapun tidak pernah ada yang melihat. Kebiasaan buruk memang, dan
tidak enak jika anak buah tidak membicarakan bosnya, entah itu
membicarakan tentang kebaikannya atau keburukannya dan ini sudah menjadi
kebiasaan bagi semua anak buah dimanapun. Yang menjadi topik
pembicaraan tempatku bekerja hanyalah tentang kesendirian Pak Hendra.
Terkadang terdengar dari salah satu karyawan mengatakan pak Hendra itu
Gay, ada juga yang mengatakan Pak Hendra itu trauma, dan banyak lagi
pendapat-pendapat tentang kesendirian Pak Hendra dan selalu menjadi
topik hangat setiap hari. Pak Hendra tidak risih, itu yang menjadi
keseganan kami. Ia hanya tersenyum saat ada yang kepergok sedang
membicarakannya. Aku sendiri berprediksi kalau pak Hendra itu trauma
dengan wanita. Mungkin karena dia pernah dikhianati atau pernah disakiti
oleh wanita. Tapi wanita tolol mana yang sampai menyiakan cinta pak
Hendra. Memang tidak ada habisnya untuk membicarakan orang lain, sampai
masalah dalam diri sendiri lupa. Sepanjang perjalanan aku bungkam dan
pak Hendra hanya berbicara dengan klien lewat Hpnya. Setengah jam mobil
mewah ini berjalan gerimis tak juga reda, suasana kelabu semakin terasa
dingin namun menyegarkan.“Di depan gang itu saja pak saya turun” Ucapku
memecah keheningan.“Tapi rumahmu masuk kan?” Tanya pak Hendra“Ia pak”
jawabku singkat“Ya sudah sekalian saja sampai depan rumahmu” Ucap pak
Hendra tegas.“Tapi pak, nanti bapak terlambat menemui klien.”“Tidak jauh
kan?, ini masih grimis nanti tambah sakit kamu win”Aku benar-benar
tidak bisa berkata-kata lagi. Tepat didepan rumah mobil berhenti. Susana
rumahku lengang. Ini sudah biasa, aku keluar dari dalam mobil mewah pak
Hendra mengantarku sampai depan pintu rumah. Perasaan malu sangat aku
rasakan entah kenapa. Pintu terbuka sebelum aku sempat memencet bel,
kepala ibu menyebul dari balik pintu. Terlihat dari wajahnya ada
keterkejutan melihat aku dan Pak Hendra dan senyumnya menggambarkan
harapan dan kebahagiaan. Ibu menatapku, lalu memegang wajahku.“Kamu
pucat sekali, kamu sakit sayang?” Ucap ibu lembut namun penuh dengan
kekhwatiran.“Iya bu, Windi tadi pingsan dikantor, dan kebetulan saya
memang akan keluar untuk menemui klien jadi sekalian antar Windi” sambar
Pak Hendra.“Aduh terima kasih mas” Ucap ibu tulus. Pak Hendra
mengulurkan tangan.“Saya Hendra bu, teman kerjanya Windi” Ucap Pak
Hendra setengah berbohong.“O, ya mari masuk dulu” Tawar ibu bukan
basa-basi.“Terima kasih bu, saya buru-buru” Tolak Pak Hendra disertai
senyum khasnya, senyuman yang menawan setiap orang yang melihatnya.“Maaf
ya nak Hendra sudah merepotkan” Ucap ibu tulus“O, tidak apa-apa bu,
saya pamit assalamualaikum” Pak Hendra berlalu setengah berlari menuju
mobilnya karena gerimis semakin deras mengguyur.“Walaikumsalam” Jawab
ibu dan aku bersamaan. Aku dipapah ibu ke kamar, punggung tangan ibu
menempel dikeningku.“Badanmu panas win” Ucapnya Panik“Win sudah minum
obat kok bu, hanya kelelahan saja, istirahat dulu ya bu, Win capek”
Ucapku lemah.Ibu hanya mengangguk sambil menyelimuti tubuhku lalu
mengecuk keningku. ****Pagi yang cerah, tubuhku sudah sehat terasa. Aku
buka jendela kamar dan sinar matahari pagi menerobos masuk menghangatkan
ruang kamarku. Masih dipinggir jendela aku tersenyum melihat sisa embun
di ujung daun jeruk nipis kemilau tersinar matahari bagai mutiara
murni. Ibu sengaja menanam pohon-pohon di samping rumah karena ibu
mencintai kehijauan. Lagi pula sejuk rasanya kalau ada pohon-pohon
didekat rumah, rumah jadi sehat dan asri. Sisa gerimis semalam ternyata
menyegarkan suasana pagi. Belum puas aku menikmati segarnya pagi suara
bel berbunyi. Terpaksa aku keluar kamar namun ibu sudah lebih dulu
sampai di ruang tamu. Aku lihat ibu menyibakan tirai jendela sebelum
mebukakan pintu.“E..nak Hendra, mari masuk” Ucap ibu. Aku terkejut bukan
kepalang. Pagi-pagi begini Pak Hendra kerumahku. Aku belum sempat cuci
muka, apalagi mandi. Aku benar-benar panik segera aku ambil handuk yang
menggantung di balik pintu kamarku, setengah berlari aku masuk kamar
mandi. Ibu sudah sudah asik ngobrol pagi-pagi dengan Pak Hendra.“Win
Sudah sehat bu?” Tanya Pak Hendra.“Sudah, sebentar saya panggilkan”
Jawab ibu sambil berlalu menuju kamarku. Aku keluar dari kamar mandi,
ibu langsung mendekati aku.“Win, Hendra datang. Siapa dia?” pertanyaan
Ibu mengejutkan aku.“Pak Hendra adalah bosku bu” jawabku.“Bos mu?, “ ibu
mengerutkan kening“Iya, kalau nggak percaya liahat nanti apa yang kami
bicarakan” Aku keluar kamar dan menemui Pak Hendra“Pak Hendra. Maaf saya
baru mandi. “ Sapaku. Pak Hendra menatapku dengan tatapan yang tidak
biasa menurutku. Tajam namun teduh. Ada setitik kecemasan dan keceriaan
di sana.“O, sudah sehat Win?”“Alhamdulilah pak. Ini ada apa pagi-pagi
sekali?” tanyaku heran.“Saya hanya ingin jenguk kamu, kalau kamu sudah
sehat ya sekalian kita bareng ke kantor” Ucapnya lagi-lagi membuat aku
tak bisa menolaknya. Ibu yang mendengar pembicaraanku mengangguk percaya
dengan penjelasanku, sambil membawa segelas teh hangat ia menyuruhku
agar cepat berkemas. “Diminum nak Hendra” “Terima kasih, wah jadi
merepotkan ini” katanya disertai senyumIbu ikut tersenyum.“Tidak, tidak
merepotkan justru kami yang merepotkan. Sampai seorang bos menjemput
anak buahnya” Tawa pun pecah.“Ah Windi pasti cerita siapa saya ya
bu?”“Iya, habis ibu penasaran. Karena Windi tidak biasanya pulang dengan
seorang laki-laki.” Ucap ibu serius“Oya. Windi tidak pernah di antar
atau di jemput pacarnya atau teman laki-laki?” Tanya Hendra
penasaran.“Pacar?, Windi kok punya pacar gadis rumahan seperti Windi
tidak akan punya pacar, sebab tidak ada yang tahu kalau rumah ini punya
anak gadis. Berangkat kerja pagi pulang sore dan hari minggu ndekem aja
dikamar. Gimana mau ada laki-laki yang tahu” Jawab ibu panjang. Pak
Hendra hanya manggut-manggut. Aku keluar sudah dengan pakaian kerjaku.
Baju blazer hitam, kaca mata dan tas menyangkut dipundakku. Setelah
berpamitan aku dan Pak Hendra menuju mobil mewah yang sudah parkir di
depan rumah.Walau segan aku coba bersikap biasa saja ketika ada di dalam
mobil mewah pak Hendra. Sejak saat itu hari-hariku menjadi hari-hari
yang aneh. Sebab Pak Hendra setiap pagi menjemputku dan pulang selalu
bersamaku. Aku menjadi gosip palih hot di kantor.“Wah ketiban duren nih”
Ledek Indri teman kerjaku.“Iya sakit banget” Balas canda ku. Dua bulan
setengah. Waktu singkat menurutku. Pak Hendra beranikan diri untuk
melamarku. Entah rasa apa yang aku rasakan yang pasti panik, sedih,
senang bahagia bangga bercampur aduk jadi satu. Kemarin aku sendiri yang
bilang perempuan mana yang tolol menolak pak Hendra yang begitu kaya,
baik tampak dan cerdas. Sekarang masalahku bertambah. Yang kuharapkan
tak juga datang, hadir Pak Hendra yang dapat membuat kedua orang tuaku
merasa bangga dan bahagia. Walaupun kesempurnaan terdapat pada diri pak
Hendra namun hati ku tak tergoda sedikitpun. Hatiku masih saja
menyebut-nyebut nama Angga. Aku benar-benar tak dapat melupakannya. Ini
cinta bagiku, karena statusnya tak dapat digantikan oleh siapapun dan
apapun. Rasa yang aku miliki pada Angga tak ku miliki pada diri Pak
Hendra. Kenapa?. Hal ini yang aku takutkan, aku takut ada keterpaksaan
pada hatiku, meskipun sudah sekuat tenaga aku paksakan untuk dapat
menerima Pak Hendra dengan harapan aku bisa jatuh cinta karena
kesempurnaannya. Tapi tetap tidak bisa. Angga satu-satunya yang aku
cintai. Namun, hingga saat ini tak juga ada kabar tentangnya.
Pertimbanganku sudah pas. Karena aku minta pada pak Hendra tunggu tepat
tiga bulan.“Pak Maaf, saya minta agar pas tiga bulan baru saya akan beri
tahu jawabannya” Kataku pak hendrapun setuju. Kini waktunya telah tiba
dan jawaban harus aku berikan pada pak Hendra. Bayangan orang tuaku yang
bangga dan bahagia membuatku ingin menerima lamaran Pak Hendra,
bayangan saudara-saudaraku yang mengejekku dan mentertawakan aku
memotivasi aku untuk menerima Pak Hendra dan bayangan Angga yang
tersenyum? Aduh,. Membuat perih dadaku.“Maaf kan aku sayang?, tidak bisa
memegang janjiku. Bayak alasan yang aku berikan untukmu, kenapa aku
ingkari janji ini” desahku. Aku terima lamaran Pak Hendra. Seminggu lagi
aku menikah. Dapat dibayangkan bagaimana resepsi pernikahan orang-orang
kaya. Semua ternyata sudah dipersiapkan Pak Hendra jauh sebelum dia
melamarku. Aku benar-benar tidak menyakan, selama ini Pak Hendra
benar-benar memperhatikan aku. Akad nikah dimulai, aku pejamkan mataku.
Bayangan Angga datang , aku buka mataku bersama air mata menitik di
sudut mataku. Aku benar-benar merasa hina karena semua cinta dan
kesetiaanku aku lepas begitu saja. Aku seorang penghianat. Akad nikah
selesai, aku dan Pak Hendrapun duduk di pelaminan para tamu undangan
menyantap menu yang disediakan, aluan musik klasik menambah
keromantisan. Batinku tidak di sini tapi entah dimana, aku resah dan
rasa bersalah meyelimuti hatiku. Sebelum bertemu Angga aku tidak akan
lepas dari semua dosa ini. Hanya kata maaf yang aku butuhkan dari Angga.
Tapi kapan, dimana?. Aku benar-benar tersiksa. Pestapun hampir usai
mobil sedan mewah berhenti. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil.
Aku tercengang melihatnya. “Angga…” tak sadar aku berdiri tak peduli Pak
Hendra melihatku heran.Angga melangkah, dengan tegang tak ada senyum
dibibirnya. Ia langsung kepelaminan menjabat tangan Pak Hendra“Selamat”
katanyaLalu kepadaku dan meyelipkan lipatan kertas“Penghianat” ucapnya
lirih. Aku benar-benar merasa malu, sakit dan kesal. Kenapa ia baru
datang ketika aku sudah ada di pelaminan. Kenapa.? Kenapa?..” jerit
batinku.Angga melangkah meninggalkan kami dan menuju mobil mewah. Lalu
melesat pergi. Surat Angga aku baca di kamar mandi.“aku tak menyangka,
hari ketika aku kembali kau sudah ada yang punya. Aku merasa bersalah
kenapa tak ada kabar buatmu. Itu pasti alasan mu kenapa kamu menikah.
Aku mengerti, tapi kamu tidak akan pernah mengerti kenapa aku tak
berikan kabar buatmu. Aku sudah berjanji. Semua yang aku lakukan demi
kamu, buat kamu dan karena kamu. Keberhasilanku karena kamu, terima
kasih. Tapi semua ini untuk apa? Orang yang aku cintai dan yang berhak
menerima ini semua telah pergi. Maafkan aku Windi. Aku doakan semoga
kamu dapat bahagia dengannya.” Aku terisak, sedih dan entah apa lagi
yang aku rasakan. Semua ini sudah aku bayangkan. Namun kenyataannya
lebih sakit. Sangat meyakitkan. Orang yang aku dambakan, kembali dan
terlambat haya beberapa jam. Seandainya dia datang sebelum akad nikah
dimulai aku akan korbankan maluku untuknya. Tapi ini kehendakNya. Aku
yakin.