Selasa, 15 Mei 2012

Koperasi ku masa depan ku

Stigma dan konotasi bahwa pasar tradisional adalah becek, kumuh, kotor, dan semrawut belum juga sirna hingga kini. Pasar tradisional juga identik dengan banyaknya pedagang kakilima, preman pasar, atau tempat parkir yang tidak teratur.

Kondisi itu membuat banyak kalangan khawatir pasar tradisional bakal semakin ditinggalkan pembeli. Terlebih kini semakin banyak pasar ritel modern yang bertebaran di berbagai sudut kota, atau juga gerai ritel mini yang mulai menyerbu sampai tingkat kecamatan serta membuka cabang di berbagai kompleks perumahan di kota-kota. Dari sisi harga jual barang pun, banyak item yang ditawarkan pasar tradisional kini tak lagi lebih murah dibanding gerai ritel modern, khususnya kategori hipermarket yang memang menawarkan barang dengan harga sangat kompetitif. Bila seabrek kelemahan ini dibiarkan terus, kematian pasar tradisional hanya tinggal tunggu waktu.

Kenyataannya, ada sejumlah pasar tradisional yang gulung tikar, termasuk di lingkup DKI Jakarta. Tak sedikit pula pasar tradisional yang terbakar, entah disengaja atau tidak, karena penataannya yang semrawut.
Pasar tradisional tak boleh dibiarkan mati. Sebab, pasar tradisional adalah representasi dari ekonomi rakyat, ekonomi kelas bawah, serta tempat bergantung para pedagang skala kecil-menengah. Pasar tradisional menjadi tumpuan bagi para petani, peternak, atau produsen lainnya selaku pemasok.

Benar bahwa secara nasional omzet pasar tradisional masih mendominasi. Dari omzet perdagangan ritel hampir Rp 100 triliun selama 2008, pasar tradisional menguasai 80%. Namun, dari tren beberapa tahun terakhir, pangsa pasar itu terus menyusut.
Itulah sebabnya, pasar tradisional harus diselamatkan. Pasar tradisional yang umumnya berada di bawah pembinaan pemerintah daerah harus dibenahi. Pembenahan tidak semata pada penampilan fisik atau desain kios-kios yang ada, tapi menyangkut semua aspek yang selama ini menghambat kemajuan pasar tradisional.
Di antaranya adalah pembenahan manajemen. Manajemen pasar tradisional perlu lebih profesional. Dalam konteks ini, pemda bisa menggandeng institusi lain untuk memberi pelatihan bagi para pedagang. Selain itu, perlu peninjauan ulang berbagai kebijakan soal retribusi yang dinilai memberatkan. Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia beberapa kali mengeluh sikap pemda yang hanya cenderung mengeksploitasi pasar tradisional dengan memungut retribusi, tapi kurang peduli pada upaya-upaya perbaikan.Pasar tradisional perlu dibersihkan dari preman yang ikut-ikutan menarik pungutan liar, pedagang kali lima, atau parkir-parkir liar yang memperburuk kenyamanan konsumen untuk berbelanja.

Di lain sisi, para pedagang pasar tradisional juga perlu lebih jujur dan profesional. Ada kesan, karena sifat pasar tradisional yang memungkinkan adanya tawar menawar harga, pedagang suka menipu konsumen. Atau, mereka bertindak tidak jujur dengan mempermainkan timbangan yang tidak semestinya.
Sudah saatnya pasar tradisional bangkit dan berbenah, agar tidak kian terpinggirkan dan ditinggalkan konsumen. Pemerintah juga perlu memberikan perlindungan terhadap pasar tradisional. Perlindungan tidak dilakukan dengan membatasi ritel modern. Di sini peran pemerintah sangat penting dengan menerapkan peraturan secara konsisten yang tidak saling merugikan.
Langkah Departemen Perdagangan merevitalisasi pasar tradisional di berbagai provinsi dan kabupaten patut diapresiasi. Swasta juga perlu dilibatkan dalam pembenahan pasar tradisional. Sejumlah pengembang swasta kini membangun pasar tradisional bergaya modern yang nyaman dan bersih.
Pasar tradisional adalah salah satu jantung dan pilar ekonomi rakyat, yang mampu menyerap setidaknya 12,5 juta tenaga kerja. Biarlah pasar tradisional dan modern hidup berdampingan secara harmonis dan tidak saling mematikan, tapi justru saling melengkapi. ( Investor)