Selasa, 29 November 2011

Produk Bajakan di Pasar Atom Kembali Marak

Pasar Atom yang menjadi benchmark perdagangan produk bajakan di Surabaya kini kembali marak. Fenomena ini bukan tanpa sebab.

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (Asirevi) Wihadi Wiyanto, hal itu diduga karena menurunnya upaya penegakan hukum dari aparat kepolisian di Jawa Timur.

"Sekarang mulai marak lagi perdagangan produk bajakan di Pasar Atom, terutama produk software," kata Wihadi yang dikutip VIVAnews dari keterangan tertulisnya, Sabtu 24 Oktober 2009.

Bahkan, produk bajakan itu mulai menyebar ke WTC. "Sejak dulu, Pasar Atom susah dikendalikan. Ditambah lagi upaya penegakan hukum mulai menurun seperti sekarang," ujar Wihadi.

Menurut dia, kunci untuk mengatasi pembajakan adalah komitmen bersama para pihak yang terkait, terutama aparat penegak hukum. Bukti nyatanya adalah keberhasilan program pemberantasan pembajakan di Jawa Timur dua tahun silam.

"Karena itu, Polda Jatim pernah mendapat penghargaan dari presiden RI karena upaya penegakan hukum terhadap masalah HKI secara komprehensif," ujar Wihadi.

Sebelumnya, dia mengaku pernah menjadikan kota Surabaya sebagai pilot project upaya penegakan hukum untuk produk film. Proyek tersebut cukup berhasil karena bisa mengurangi hingga 90 persen pedagang produk bajakan di Tunjungan Plaza dan sekitarnya.

"Semula di sekitar Tunjungan Plaza banyak pedagang yang menjual VCD produk musik atau film bajakan. Tetapi, sejak ada program tersebut, pedagang yang menjual produk bajakan menurun drastis hingga 90 persen," tuturnya.

Pekan lalu, Mabes Polri melakukan aksi sweeping terhadap perdagangan produk bajakan di Surabaya. Menurut dia, kasus itu kemudian dilimpahkan ke wilayah kepolisian Surabaya Selatan.

Data Polri terkait penyitaan barang bukti produk optical disc bajakan menyebutkan, pada 2005, sekitar 2,89 juta produk optical disc disita polisi.

Selanjutnya pada 2006 ditemukan 2,47 juta produk sejenis. Sedangkan pada 2007 terdapat 2,14 juta produk, dan 2008 diketahui sekitar 2,64 juta produk yang berhasil disita aparat.

Sementara itu, untuk periode Januari-April 2009 baru 0,219 juta unit yang disita.

Terkait produk film, Wihadi menjelaskan, pembajakan terhadap produk film sudah mengkhawatirkan. Ibarat lampu kuning, industri film nasional harus berhati-hati jika tidak ingin hancur.

Pemicunya adalah pembajakan produk film lokal kini tidak dilakukan oleh industri besar, tapi juga industri rumahan (home industry) dengan menggunakan komputer.

"Dengan modus seperti itu, proses pembajakan produk film jadi lebih mudah dan sulit terdeteksi. Dampaknya, siapa pun di seluruh Indonesia bisa menikmati hasil bajakan tersebut," kata dia.

Pembajakan secara home industry dinilai Wihadi sangat membahayakan industri film nasional. Karena, pasar di Indonesia, terutama di kota-kota kabupaten, yang semestinya menjadi potensi pendapatan industri film nasional, diambil alih oleh produk bajakan.

"Ini ancaman industri kreatif secara langsung," ujar wihadi, yang memaparkan bahwa setiap tahunnya terdapat 80 judul film nasional diproduksi.

Karena itu, pihaknya sedang mmembuat program agar produk film tidak bisa dibajak atau digandakan dengan komputer. Sejauh ini, program tersebut masih dalam proses pengembangan dan menjadi tantangan bagi industri film Indonesia di masa depan.

"Solusi lainnya, kami menjual produk musik atau film original dengan harga murah. Misalnya, untuk VCD musik karaoke kami jual dengan harga Rp 10.000 per keping, sedangkan DVD film Rp 15.000," tutur Wihadi.

Undang-undang Monopoli dan persaingan Tidak Sehat

Latar belakang diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, baik itu dalam bentuk monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu terutama yang dekat dengan kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak efisien, tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha untuk membantu mengangkat perekonomian Indonesia.

UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai rupiah dan membangkrutkan negara serta hampir semua pelaku ekonomi. Undang-undang ini juga merupakan salah satu bentuk reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk bersedia membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi. Undang-undang ini berlaku efektif pada tanggal 5 Maret 2000. Untuk mengawasi dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Pengawas Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal 30 UU No. 5/1995).

Secara umum, isi UU No. 5/1999 telah merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada di negara-negara maju, antara lain adanya ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang undang-undang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha, kegiatan-kegiatan apa yang tidak dianggap melanggar undang-undang, serta perkecualian atas monopoli yang dilakukan negara.

Sejauh ini KPPU telah sering menjatuhkan keputusan kepada para pelaku usaha di Indonesia yang melakukan perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang dikategorikan terlarang oleh UU No. 5/1999 serta yang menyalahgunakan posisi dominan mereka.
Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkongkolan.

Pada 5 Maret 2009 yang lalu UU No. 5/1999 genap berusia sepuluh tahun, waktu yang cukup panjang dan relevan untuk melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut.
Praktik monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Sepuluh tahun penerapan UU Antimonopoli perlu dilakukan suatu refleksi, apa dampaknya bagi dunia usaha, bagi konsumen dan pemerintah. Selama sepuluh tahun berlakunya UU Antimonopoli, sejak tahun 2000 sampai sekarang menurut Zubaedah, Kasubdit Advokasi KPPU, KPPU telah menerima 963 laporan pelanggaran tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Setelah laporan itu diklarifikasi, yang ditindaklanjuti berjumlah 179. Dari jumlah tersebut sebanyak 121 diputuskan, 43 statusnya penetapan, sedangkan 15 lainnya sedang ditangani.

Dilihat dari jumlah kasus yang dilaporkan, yang sudah diputuskan dan yang sedang diproses, KPPU dapat dikatakan tergolong aktif melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tetapi yang perlu dievaluasi secara sederhana adalah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap konsumen dan Pemerintah sendiri.

Tujuan UU Antimonopoli
Sebelum lebih jauh mengkaji UU Antimonopoli ini, perlu diketahui terlebih dahulu tujuan UU Antimonopoli. Adapun tujuan UU Antimonopoli sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 3 adalah untuk:
a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c) mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d)terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Dari ke empat tujuan tersebut, Martinus Udin Silalahi dalam tulisannnya yang dimuat dalam situs Koran Harian Sore Sinar Harapan tanggal 9 Maret 2005 merumuskan menjadi dua tujuan pokok, yaitu tujuan ekonomi dan tujuan sosial. Menurut Martinus, maksud tujuan ekonomi adalah terselenggaranya persaingan usaha yang sehat, kondusif dan efektif yang mengakibatkan efisiensi ekonomi. Sedangkan tujuan sosial adalah melalui persaingan usaha yang sehat tersebut kesejahteraan masyarakat akan ditingkatkan (the maximization of consumer welfare), yaitu masyarakat akan mempunyai pilihan untuk membeli suatu barang atau jasa dengan harga yang lebih murah. Jadi, kedua tujuan tersebut menjadi dasar parameter untuk menilai, apakah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap masyarakat (konsumen), dan terhadap Pemerintah sendiri.

Dampak UU Antimonopoli bagi Pelaku Usaha
Dampak UU Antimonopoli tersebut bagi pelaku usaha adalah yang pertama, pelaku usaha tidak boleh menjalankan usaha dengan cara tidak fair atau menjalankan usaha merugikan pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung; yang kedua pelaku usaha harus sungguh-sungguh bersaing dengan kompetitornya supaya tetap dapat eksis di pasar yang bersangkutan, baik dari aspek kualitas, harga maupun pelayanannya. Karena suatu pelaku usaha tidak tahu persis apa yang dilakukan oleh kompetitornya untuk tetap eksis, maka setiap pelaku usaha akan melakukan perbaikan peningkatan terhadap produknya (inovasi) untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik, harga yang lebih murah dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk menarik hati konsumen. Apakah ini sudah dijalankan oleh pelaku usaha di Indonesia? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli sepuluh tahun yang lalu, pelaku usaha umumnya sudah memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli.

Paling tidak mengetahui bahwa ada UU Antimonopoli yang memberi kebebasan kepada pelaku usaha untuk menjalankan usahanya, tetapi kebebasan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli tersebut.
Misalnya, adanya larangan penguasaan pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (Pasal 17), dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha (Pasal 25 ayat 2 huruf b). Namun, batasan ini tidak berlaku mutlak.

Artinya tidak setiap pelaku usaha melebihi pangsa pasar tersebut langsung dilarang, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah dengan melebihi penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan tersebut mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Kalau ya, maka larangan tersebut dikenakan kepada pelaku usaha yang bersangkutan, kalau tidak, maka pelaku usaha tersebut tidak dikenakan larangan tersebut.

Dengan demikian UU Antimonopoli tidak anti perusahaan besar. Justru UU Antimonopoli mendorong perusahaan menjadi perusahaan besar asalkan atas kemampuannya sendiri, bukan karena melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat.

Dampak UU Antimonopoli bagi Masyarakat (Konsumen)
Dampak UU Antimonopoli bagi masyarakat (konsumen) sangat dirasakan, yaitu akibat persaingan antara pelaku usaha masyarakat mempunyai pilihan dalam membeli suatu produk tertentu, baik dari aspek harga, kualitas maupun pelayanannya.
Salah satu buktinya di sektor penerbangan, setelah sektor penerbangan diliberalisasi, masyarakat dapat menikmati bepergian dengan pesawat terbang, karena harga tiket pesawat terjangkau oleh masyarakat. Ini adalah merupakan dampak yang langsung dirasakan konsumen, karena persaingan usaha dijamin oleh UU Antimonopoli.
Konsumen lebih sejahtera, karena dahulu Konsumen tidak mampu membeli tiket pesawat kalau mau bepergian ke Surabaya misalnya, maka sekarang Konsumen dapat bepergian dengan pesawat terbang, karena tiket pesawat terjangkau oleh masyarakat.

Namun di sisi lain, dalam kasus angkutan umum ini, akibat terjadinya persaingan usaha yang sehat melalui “perang” tariff ini, perusahaan-perusahaan maskapai penerbangan tidak lagi memperhatikan keselamatan penumpangnya sehingga banyak terjadi kecelakaan yang merenggut banyak korban jiwa. Hal ini disebabkan maskapai penerbangan mencoba meningkatkan keuntungan dengan mengabaikan prosedur keselamatan penerbangan sebagai akibat harus menekan pendapatan dari penetapan tariff yang murah.
Terlepas dari permasalahan keselamatan penumpang yang merupakan tanggung jawab Departemen Perhubungan, dengan kehadiran UU Antimonopoli ini membuat konsumen lebih bisa menikmati fasilitas-fasiltas yang dulunya adalah barang mewah karena harga yang tidak terjangkau seperti fasilitas komunikasi seluler.




Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU no.5 Tahun 1999 tentang
anti monopoli)
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.